Publikasi dan kontroversi film Cowboys in Paradise yang dibuat oleh sutradara Amit Virmani masih belum berakhir. Film dokumenter ini memunculkan perspektif umum mengenai kepariwisataan Indonesia. Bahwa pariwisata berefek negatif.
Amit, yang bersekolah film di Amerika Serikat dan sekarang sudah 14 tahun tinggal di Singapore mengaku bahwa awal pembuatan film ini karena adanya pengakuan dari anak-anak berumur 12 tahunan yang menjadi 'pacar' wisatawan wanita asal Jepang. Walaupun demikian, Amit tetap tidak mengakui bahwa film ini mengenai gigolo di Bali. Pernyataannya di twichfilm.net," a lot of people scoff at the need to distinguish between Cowboys and gigolos, but I see the distinction. It's a very fine line, but it's there. Yes, the Cowboys are the most visible face of Bali's male sex trade, but they're not sex workers. How's that for a blurry line!
Anyway, terlepas dari kontroversi filmnya, dalam hati kita yang pernah ke Bali akan mengakui keberadaan, meminjam kata Amit, cowboys. Sangat kentara. Tetapi, kita harus sekali lagi bijak dalam menganalisa. Komisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi sasaran child sex tourism (CST/wisata seks anak) dunia, sehingga kian memperburuk citra pariwisata Indonesia di mata internasional. Bahkan, menurut data UNICEF tahun 1998, 30 persen dari pekerja seks komersial (PSK) adalah anak (10-18 tahun) dan diperkirakan 40.000-70.000 anak Indonesia telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia menempati posisi nomor tiga setelah Brasil dan Vietnam dalam pariwisata seksual anak. Saat ini ada enam provinsi masuk dalam kategori berat pariwisata seksual anak, di antaranya Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Batam, Sumatera Utara dan Lombok.
Efek negatif pariwisata sudah banyak sekali diteliti. Yang sedang mencuat adalah degradasi lingkungan (yang sudah di-counter dengan konsep sustainability) serta degradasi moral dari sisi budaya. Celakanya, efek negatif ini selalu dikaitkan dengan semua aktivitas kepariwisataan. Hotel yang menjadi tempat maksiat, minuman beralkohol, wisata sex sampai dengan eksploitasi anak. Lebih sial lagi, tidak ada yang mau bertanggungjawab terhadap efek negatif ini. Pemerintah selalu keluar dengan pernyataan keberhasilan pencapaian target wisatawan, atau PAD yang meningkat karena kepariwisataan tetapi selalu lupa mengelola efek negatifnya. Lihat saja penelitian yang dibiayai oleh Pemda/kot, selalu saja mengenai peningkatan ekonomi via pariwisata, atau tentang seberapa besar potensi PAD dari sektor ini, atau mengenai perencaan pariwisata di daerah tertentu yang pada akhirnya tetap saja aktivitas ekonominya yang menonjol.
Film Cowboys in Paradise ini sebetulnya tidak berbeda dengan film dokumenter mengenai degradasi lingkungan yang banyak diputar oleh National Geography. Kita harus mengelola efek negatif ini dengan benar, termasuk mempublikasikannya dengan benar. Biar bagaimanapun, borok tidak bisa disembunyikan. Publikasi besar-besaran mengenai keberhasilan pencapaian target pariwisata tidak akan mencegah orang untuk meneliti efek negatifnya. Susahnya memang, terkadang kita terlalu terlena dengan keberhasilan kita sendiri (apabila memang ini benar). Ketika orang 'luar' melihat kebobrokan dan mulai membicarakannya, baru kita kebakaran jenggot.
WE'RE HIRING NEW LIVE CAM MODELS!
ReplyDeleteMAKE UP TO $10,000 EVERY WEEK.
SIGN-UP AS A BONGA MODELS CAM MODEL TODAY!