Kita semuanya mengerti bahwa aktivitas pariwisata bukanlah aktivitas parsial. Dari satu kegiatan ke kegiatan yang lainnya terkoneksi, terintegrasi sehingga memunculkan sebuah pengalaman berwisata yang utuh dan maksimal. Jadi, kita tidak bida mengklaim bahwa wisatawan yang berkunjung ke Bandung hanya mempunyai tujuan untuk shopping saja, atau kuliner saja. Kepariwisataan itu adalah bundling of products, yang tangible dan intangible, dari aksesibilitas sampai dengan atraksi.
Perwujudan dari kondisi terkini di Bandung, ketika pemkot berusaha untuk menaikkan pajak hiburan di sektor tertentu menjadi 75% (dari 30%), mengindikasikan bahwa pemkot sedang menarik ulur industri ini. Pendapatan dari sektor hiburan yang hanya 4,1 milyar per tahun dirasa tidak cukup melihat kondisi empiris meluapnya wisatawan setiap akhir minggu. Sejujurnya, untuk industri sebesar ini, 4,1 milyar bukanlah angka yang pas. Seharusnya bisa lebih.
Ini berhubungan dengan tingkat kesediaan bayar pengusaha. Ketika muncul raperda baru pajak hiburan, terungkaplah berapa banyak hidden cost pengusaha hiburan untuk kelangsungan usahanya. Bukan rahasia lagi, hampir 7% dari penjualan lari ke 'hal-hal gelap' yang tidak berkuitansi, semacam perlindungan, keamanan sampai dengan menjamu tamu-tamu yang tidak seharusnya ditanggung pengusaha. Note : belum lagi pajak miras yang merangkak (baca : mendadak) naik.
Seorang teman pengelola hiburan mengungkapkan bahwa saat ini pasar hiburan malam di Kota Bandung tidak seempuk dahulu. Persaingan sudah sangat ketat. Dari sejak berdiri, sekira 6 tahun lalu, tempat usahanya baru menaikkan harga makanan dan minuman sebanyak dua kali. Tidak sejalan dengan kenaikan harga barang dan jasa.
Disisi lain, pemkot harus membangun jalan dan saran publik untuk kenyamanan kota. Menaikkan angka pajak adalah opsi yang selalu menjadi prioritas utama. Khusus untuk pajak hiburan, alasan utama adalah karena hiburan jenis ini hanya bisa dinikmati oleh manusia berduit saja. Jadi sah apabila dipungut pajak yang lebih besar.
Tidak perlu khawatir, karena dalam raperda pajak yang baru ada satu hal yang krusial yang berbeda dengan perda yang lama (Perda No. 19 th 1998 dan direvisi menjadi Perda No. 11 th 2000), salah satunya adalah bahwa tidak dicantumkannya makanan dan minuman yang dikonsumsi konsumen sebagai objek pajak. Jadi, 75% pajak hiburan adalah murni untuk cover charge/tiket masuk saja. Tidak benar apabila kita harus membeli coca cola atau perrier water dengan kenaikan hampir 100% tersebut.
Akan tetapi, pengusaha hiburan juga harus sadar. Tarik ulur ini adalah bagian dari banyak proses, salah satunya adalah proses konstelasi politik di kota kembang ini. Singkatnya begini, ultimatum pemkot : bayar yang bener dong, jadi gak perlu gertak sambal gini.
Saya sendiri percaya pajak 75% tidak akan diterapkan secara mutlak. Kenaikan iya, tetapi tidak sedrastis itu. Ada yang harus lebih diperhatikan oleh teman-teman dari hiburan, yaitu permintaan sebagian masyarakat yang menolak minuman beralkohol. Karena apabila ini gol, sektor usaha ini 80%nya akan mati total. Dan satu variabel dari bundling aktivitas pariwisata yang selama ini ditawarkan Kota Bandung akan berkurang satu.
Untuk sebuah kota seperti Bandung, mengenaskan.
No comments:
Post a Comment