Pada saat krisis ekonomi melanda dunia, alur wisatawan domestik ke Kota Bandung tidak berhenti. Seolah tiada saingan, Kota Bandung masih menjadi daya tarik utama bagi wisatawan lokal. Keadaan ini memunculkan polemik karena Pemerintah Kota Bandung tidak juga berbenah di infrastruktur penunjang kepariwisataan. Jalanan yang macet, lahan parkir yang terpakai, sampai dengan pedagang kaki lima menjadi santapan setiap akhir minggu.
Kondisi ini tidak menyurutkan semangat wisatawan untuk datang. Pemkot juga tidak berhenti berusaha menarik pendapatan asli daerah dari aktivitas pariwisata yang terjadi. Izin penanaman modal domestik untuk investasi hotel, restoran, biro perjalanan wisata, sampai dengan ritel mengalir bagaikan air.
Pada 2008/2009, 26 hotel akan berdiri. Beberapa di antaranya sudah mendapatkan izin untuk memulai konstruksi, bahkan tak sedikit yang sudah akan beroperasi pada akhir tahun ini. Bagi Bapedda Kota Bandung, ini saatnya menuai hasil dari sektor pariwisata. Semakin banyak memberikan izin bagi hotel baru, berarti pajak semakin besar. Dengan demikian, PAD akan membubung.
Bagi kalangan industri perhotelan, ini saatnya menjerit. Penambahan hotel baru otomatis akan menambah jumlah kamar yang tersedia setiap hari. Padahal, pada 2006 terdapat 1.045 kamar di hotel berbintang yang tidak terjual setiap hari. Pada 2007 terdapat 1.040 kamar yang tidak terjual. Simpang siur informasi mengenai sulitnya mencari kamar hotel di Bandung pada akhir pekan juga tidak terbukti karena rata-rata hunian kamar hotel berbintang di Bandung saat akhir pekan hanya berkisar 75-79 persen. Implikasi energi
Investasi di bidang perhotelan merupakan salah satu investasi yang mengandung tingkat risiko cukup tinggi. Selain membutuhkan kapital yang cukup besar, industri ini bukan termasuk industri padat karya yang dimanja pemerintah. Industri perhotelan juga kurang diminati sebagai alokasi kredit karena return yang dihasilkan cukup lama. Belum lagi ditambah citra negatif yang melekat, sektor perhotelan tidak akan pernah menjadi prioritas bagi perbankan syariah untuk memuluskan kredit. Beberapa investor malah tidak menyertakan kredit perbankan sama sekali untuk mendirikan hotel.
Sebagai bagian dari industri jasa, hotel mengalami perubahan demand yang fluktuatif. Hotel di Bandung, misalnya, pada akhir pekan terisi penuh wisatawan, sedangkan pada hari kerja berusaha keras untuk bertahan dengan menggaet pasar corporate untuk mengisi business centre, meeting room, atau ballroom-nya. Implikasi permintaan yang tidak stabil tersebut, fasilitas di hotel juga harus diperuntukkan bagi dua segmen tersebut.
Tuntutan fasilitas yang tersedia untuk dua segmen tersebut tentu saja berbeda dengan apabila hotel hanya memenuhi kebutuhan satu jenis pasar. Penyediaan fasilitas bagi wisatawan yang memerlukan kenyamanan harus juga dapat diselaraskan dengan kebutuhan pebisnis atau peserta pertemuan pada hari-hari kerja. Oleh karena itu, beban penggunaan energi juga menjadi berat.
Pelanggan keluarga akan memerlukan banyak air, misalnya, dibandingkan dengan pebisnis. Adapun peserta konvensi akan menyedot lebih banyak penggunaan listrik daripada tamu jenis wisatawan. Keduanya mempunyai peak hour yang sama, yaitu pukul 17.00-20.00, ketika wisatawan sudah kembali ke hotel dan memulai mengonsumsi air atau ketika pebisnis menggunakan ballroom atau memulai kembali pertemuannya.
Menyadari kapasitasnya sebagai pengguna banyak energi, kurangnya pasokan energi dunia sudah diperhitungkan lama oleh industri perhotelan. Hanya saja, karena industri ini bernuansa fixed asset, perubahan konstruksi untuk penyesuaian dengan kondisi saat ini sangat sulit dilakukan. Bagi hotel-hotel yang sudah lama beroperasi, mengganti boiler atau mengubah skema pemakaian AC di kamar menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Beberapa hotel secara ekstrem mematikan pendingin di lobi pada pukul 00.00-04.00, tetapi hal tersebut hanya memunculkan keluhan dari tamu.
Biaya pemakaian energi di hotel-hotel di Bandung menunjukkan angka yang merata, yaitu sekitar 8-12 persen dari pendapatan, bahkan beberapa hotel yang sudah tua malah lebih besar lagi. Energi efisiensi indeks hotel-hotel di Jakarta berada pada posisi 711 kWh/m2, nomor kedua terbesar setelah Malaysia yang mengggunakan 1026 kWh/m2 (Eang LS, 2008).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa tambahan hotel baru akan memunculkan implikasi beragam. Selain pasokan listrik yang akan lebih terbagi, suplai analisis juga tidak lagi mendukung. Baik di hotel melati maupun berbintang saat ini masih terdapat kamar kosong yang tidak terjual setiap hari. Semu
Salah satu penyebab menjamurnya hotel di Bandung adalah karena dimunculkannya terus-menerus informasi bahwa hotel di Bandung selalu dipenuhi wisatawan pada akhir pekan, padahal tidak. Pada periode akhir pekan yang panjang memang betul. Namun, pada hari biasa rata-rata tingkat hunian hanya berada pada kisaran 60-65 persen. Menurut perhitungan kasar, tingkat hunian tersebut berada pada level moderat. Artinya, tidak memberikan keuntungan banyak, tetapi lebih cenderung pada titik impas.
Penyebab lain banyaknya investasi di bidang perhotelan adalah mengenai wisatawan lokal yang terus tumbuh. Berdasarkan analisis Costra (2008), lonjakan pertumbuhan kunjungan wisatawan ke Kota Bandung hanya terjadi pada periode 2002-2003. Pada 2004-2006 jumlah kunjungan memang meningkat walaupun angkanya tidak terlalu signifikan. Tercatat angka pertumbuhan periodik pada 2002-2003, 2003-2004, 2004-2005, 2005-2006 secara berturut-turut adalah 62,44 persen, 13,84 persen, 5 persen, dan 4,76 persen.
Data tersebut menunjukkan, walaupun jumlah wisatawan lokal masih tumbuh, tingkat pertumbuhannya terus berkurang. Kemacetan yang terjadi dapat diartikan sebagai indikator semu. Kenyataannya, tidak semua wisatawan membutuhkan kamar hotel untuk menginap. Sebagian besar masih memilih cara konvensional yaitu menginap di rumah famili. Jadi, berbagai indikator eksplisit mengenai pariwisata Kota Bandung tidak semuanya benar. Mitos tingkat hunian kamar yang selalu penuh, kemacetan yang mengakibatkan asumsi berlebihan terhadap kebutuhan kamar, semakin banyak akomodasi berarti kebutuhan wisatawan terpenuhi, sampai dengan bisnis pariwisata yang dipandang selalu menguntungkan justru menjadi bumerang bagi beberapa kalangan yang memiliki kepentingan.
Melek investasi, bagi Pemkot dan investor, adalah syarat utama. Atribut awal investasi, terutama bidang pariwisata, tidak bisa lepas dari indikator yang dipakai. Apabila dari awal investor tidak diberikan pemahaman dan informasi yang benar, investasi yang dilakukan akan sia-sia. Demikian pula dengan pemerintah daerah, persyaratan investasi harus transparan. Apabila tidak, dijamin tingkat kegagalan usaha akan tinggi dan investor pun enggan masuk. Hati-hati.
WIENTOR RAH MADA Direktur Eksekutif Center of Hospitality and Tourism Strategy (Costra), Bandung
No comments:
Post a Comment