Dewasa ini sedang marak program sertifikasi kompetensi untuk bidang pariwisata. Program yang berada di bawah kendali Badan Nasional Sertifikasi Profesi ini secara masif diimplementasikan di berbagai daerah melalui Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata yang ada. Sayangnya, program yang baik ini harus menerima kenyataan bahwa industri masih belum peduli kepada sertifikasi kompetensi ini. Buktinya? silakan lihat iklan lowongan pekerjaan di koran setiap hari Sabtu, dan anda tidak akan menemukan satupun persyaratan calon karyawan yang : harus mempunyai sertifikat kompetensi.
Sebetulnya, dilihat dari lingkungan eksternal, dengan ditandatanganinya Mutual Recognition Agreement (MRA) diantara negara ASEAN yang merupakan kelanjutan dari ASEAN Tourism Agreement 2002 dan Vientiane Action Program 2004, program Roadmap for Integration of Tourism in ASEAN menghasilkan resolusi bahwa mekanisme ASEAN MRA harus disetujui, dikembangkan dan diterapkan pada 2009-2010. Dari sisi ini, perpindahan 'workers' diantara negara-negara di ASEAN sudah mencoba mengikuti perkembangan pariwisata dunia yang semakin meningkat.
Di Indonesia, sayangnya, program ini belum memberikan hasil yang menggembirakan. Program sertifikasi kompetensi yang bertujuan untuk menstandarkan cara kerja dengan tujuan akhir yang mulia : agar mudah mendapatkan pekerjaan, masih jauh dari harapan. Beberapa kelemahan yang tercatat, selain (1) problem utama industri belum menerima, adalah (2) proses update standar kompetensi yang ada harus lebih reguler dan tidak terlalu lama untuk bisa mengikuti perkembangan industri pariwisata yang semakin cepat, (3) terlalu memaksakan unit kompetensi kedalam sistem pendidikan vokasi (catatan : untuk program yang teknikal barangkali tepat, tetapi untuk tingkatan selanjutnya yang selalu berurusan dengan kreatifitas dan inovasi perlu dipikirkan ulang), (4) dalam hal ini, peran pemerintah terlalu dominan, selalu memberikan subsidi untuk sertifikasi kompetensi, dengan demikian, ketika subsidi ini berhenti tidak ada jaminan pekerja/ karyawan di bidang pariwisata akan mau mengikuti uji kompetensi dengan membayar sejumlah uang, (5) adalah sifat dari industri kepariwisataan yang melakukan rekrutmen pegawai dengan melihat kepada pengalaman calon pegawai, oleh karena itu, seseorang fresh graduates dengan sertifikat kompetensi supervisor diragukan untuk dapat langsung menduduki posisi supervisor.
Pada Diskusi Policy Dialogue yang diselenggarakan oleh British Council Indonesia pada Rabu, 10/3/2010, terungkap bahwa baik proses, tata cara maupun lembaga yang terlibat dalam proses sertifikasi di Indonesia ini sangat rumit dibandingkan dengan yang terjadi di Inggris. Alex Cook dari Scottish Qualification Authority (SQA) mengungkapkan bahwa permintaan kualifikasi kompetensi justru lebih banyak dari industri dan bukan pemerintah. SQA telah banyak menerbitkan standar kompetensi di berbagai bidang, termasuk pada industri perminyakan, pariwisata, dll di berbagai negara. Di Inggris juga terdapat National Occupational Standard yang memang untuk karyawan yang ingin mendapatkan sertifikasi kompetensi.
Satu hal krusial yang dilupakan dalam proses sertifikasi kompetensi di Indonesia ini adalah komponen yang paling penting, yaitu : Industri! Menyikapi ini, daripada meminta warga negara Indonesia mendapatkan sertifikat kompetensi yang belum tentu dipandang oleh industri, lebih baik pemerintah fokus kepada pembinaan industri untuk dapat menerima unit-unit kompetensi yang ada dengan lapang dada (yang juga dibuat oleh perwakilan industri).
Tiba-tiba saya teringat oleh buku dari Daniel Pink yang berjudul A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the Future. Daniel menyebutkan bahwa profesi masa depan adalah profesi right brain. Dikatakan," Lawyers. Accountants. Computer programmers. That’s what our parents encouraged us to become when we grew up. But Mom and Dad were wrong. The future belongs to a very different kind of person with a very different kind of mind. The era of “left brain” dominance, and the Information Age that it engendered, are giving way to a new world in which “right brain” qualities-inventiveness, empathy, meaning-predominate". Dalam alinea lain dia juga mengatakan bahwa ," “left brain abilities are necessary, but no longer sufficient” in the current marketplace.
Apa itu left brain ability? kita banyak menggunakan otak kiri untuk menghitung, logika, detail, fakta, kata dan bahasa, matematika, keteraturan, pattern, teknikal dan keamanan. Sedangkan otak kanan kita pergunakan untuk : perasaan, 'big picture' oriented, imaginasi, simbol dan gambar, filosofi, meaning, apresiasi, fantasi, fungsi objek dan risk taking.
Jadi mau dibawa kemana masa depan sumber daya manusia pariwisata Indonesia : left brain atau right brain?
No comments:
Post a Comment