Monday, April 19, 2010

Saatnya Pariwisata Kreatif



 

PARIWISATA dunia menunjukkan tingkat "sustainability" yang luar biasa. Keterpurukan ekonomi global menurunkan delapan persen wisatawan bepergian pada kuartal pertama 2009. Akan tetapi, sejak tahun 2007, turis internasional sudah mencapai "tipping point", meminjam istilah Malcolm Gladwell, dengan jumlah satu miliar. Ini berarti 20 persen penduduk planet ini sudah pernah bepergian keluar negeri setiap tahunnya.

Sebagai satu indikator ekonomi, kegiatan pariwisata selalu dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, proses munculnya permintaan (demand) sebagai akibat dari kenaikan ekonomi daerah asal. Kedua, indikasi supply, merepresentasikan keunikan atraksi yang berujung pada efek domino ekonomi lokal. Keunikan atraksi ini dapat berupa banyak hal. Dalam konteks pariwisata kreatif, segala daya imajinasi yang dapat diinterpretasikan layak dijadikan atraksi. Jurnal Pariwisata Anatolia bahkan menegaskan bahwa setiap sudut kota merupakan creative spaces yang memungkinkan untuk dijadikan magnet baru sehingga mendatangkan wisatawan.


Menurut John Howkins (2001) ekonomi kreatif adalah suatu analisis komprehensif dari ekonomi baru yang didasarkan kepada orang-orang yang kreatif, industri kreatif, dan kota-kota yang juga kreatif. Howkins memulai analisisnya dengan mempelajari kreativitas individual dari orang-orang kreatif dan mengeksplorasi identitas diri mereka, juga seni, bisnis, masyarakatnya, bahkan sampai dengan interaksi dengan globalisasi.

Saya lebih senang menganalogikan ekonomi kreatif sebagai perwujudan kegiatan yang unik, membutuhkan keterlibatan imajinasi, dan mempunyai entitas ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung. Keunikan yang ditampilkan akan secara otomatis akan meretensi duplikasi, sedangkan proses imajinasi yang dipakai dapat menstimulus nilai yang tinggi terhadap intelektualitas seseorang atau grup. Entitas ekonomi juga hal yang penting karena berawal dari sini, tingkat keberlanjutan dikawal.

Jadi, pola pengembangan ekonomi kreatif yang betul adalah dengan mengidentifikasi keterlibatan kreativitas dalam aktivitas perekonomian nasional. Secara garis besar, penghargaaan kreativitas industri masih dibelenggu oleh tangibility atau kewujudan hasil akhir satu proses produksi. Padahal, justru moment of truth-nya berada pada proses penciptaan dan ini tidak terikat oleh ikatan waktu.

Dari pengejawantahan kreativitas ini, intellectual property akan jasa (intangible) menjadi tolok ukur. Keautentikan ataupun orisinalitas suatu karyalah yang diperhitungkan. Dari sudut pandang pariwisata kreatif, penghargaan akan satu proses akan menjadikan pariwisata lebih sustain.

Oleh karena itu, pariwisata kreatif memerlukan rancang bangun produk dengan pola diferensiasi yang jelas. Pariwisata jenis ini membutuhkan semangat idealisme yang kuat karena penghargaan akan proses (bukan hasil akhir) memberikan dampak kekuatan identitas lokal yang kebanyakan tertuang dalam konteks budaya dan sosial. Keterlibatan turis dalam proses, sudah pasti akan menjaga kelestarian. Kondisi demikian akan memunculkan aktivitas pariwisata yang tertaut (engage) dan menantang imajinasi. Turis dibawa ke tingkat kesadaran baru (new awareness), pemahaman baru, pengetahuan baru, dan keterikatan emosi yang kuat dengan lokus.

Ketika bertemu dengan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Yanti Sukamdani, beberapa waktu lalu, menyeruak kembali konsep eternal tourism. Pariwisata adalah kegiatan yang tidak akan pernah berhenti. Tidak seperti minyak, gas, atau hasil bumi lain yang suatu saat akan habis. Saya, tentu saja, setuju.

Hanya, hukum kekekalan pariwisata ini cuma bisa ditangkap dalam esensi pariwisata kreatif. Nyatanya, banyak destinasi pariwisata yang meredup dan ditinggalkan turis. Museum kita, misalnya. Berbeda dengan Louvre yang luar biasa menginterpretasikan setiap barang dipunyai (dibumbui dengan cerita dan legenda), museum di Indonesia cenderung monoton dan datar. Kreativitas dan pariwisata sebagai ying dan yang tidak dapat ditemukan.

Oleh karena itu, Bandung yang telah menegaskan dirinya sebagai kota kreatif, berpotensi besar untuk mengembangkan pariwisata kreatif. Konsep megalopolitan Jakarta, bahkan Singapura, dengan mega-events dan iconic structures tidak sebanding dengan thematisation dan heritage mining yang dipunyai Bandung. Kedua ciri terakhir jauh lebih kekal apabila dikelola dengan baik.

Kekuatan Bandung adalah jelas pada proses. Industri distro, film, kuliner, desain, software sampai dengan legenda lokal mesti dapat dibungkus dengan cerita atau keadaan yang menarik empati. Ketertautan, partisipasi, dan ekspresi diri seorang turis harus dieksplorasi secara maksimal. Keterlibatan secara langsung pada proses dapat menjadi jalan untuk berwisata.

Walaupun demikian, ide kreatif khusus untuk pengembangan Bandung sebagai destinasi kreatif masih jauh dari kenyataan. Beberapa ada memang yang menawarkan tingkat interpretasi bernilai mengenai sejarah kota ini, dengan klaim autentisitas terhadap paket yang dipunyai. Akan tetapi, wisata sejarah tidak akan dapat menjamin tingkat keterlibatan tinggi dari turis.

Pada akhirnya, muara pariwisata berakhir pada persepsi turis. Kreativitas yang terjadi, seharusnya tidak hanya dari sisi supply, tetapi juga permintaan. Artinya, pariwisata kreatif mempunyai kewajiban "mengkreatifkan" turis yang datang. Produk autentik itu penting, tetapi lebih penting produk yang mempunyai arti (meaning).





No comments:

Post a Comment