Sunday, June 24, 2012

Wisata Pontianak | Potensi Yang Tidak Muncul




Wisata Pontianak seharusnya bisa berkembang dengan pesat, sayangnya justru terkesan tidak ditata dan terurus. Dalam beberapa bulan terakhir saya seringkali bolak-balik ke Pontianak, dikarenakan ada salah satu hotel terbesar disana yang saya konsultani beserta dengan teman-teman. Dalam perjalanannya, beberapa kali juga saya berkesempatan berkeliling Ibukota Kalimantan Barat ini dengan dibantu oleh supir hotel atau bahkan oleh teman yang kebetulan berada disana.

Kendala terbesar untuk wisatawan yang datang ke kota ini adalah susahnya sarana transportasi. Ada taksi (mobilnya daihatsu ceria) yang jumlahnya tidak banyak dan konon, meminta harga yang mahal dan tidak mempunyai standar. Misalnya kita dari titik A ke B dengan harga X, ketika baliknya dari B ke A maka akan keluar harga Y. Agak aneh sebetulnya ketika sebuah ibukota provinsi tidak mempunyai taksi yang memadai. Jadi bagi yang ke Pontianak sendirian, atau bersama keluarga, siap-siap untuk sewa mobil saja. Atau saran yang paling logis adalah dengan memakai mobil hotel. Tentu saja dengan harga yang lumayan.

Beruntung saya ada Mas Eddy Setyawan, kakak kelas saya semasa SMA yang selalu berbaik hati mengantarkan saya melihat-lihat Kota Pontianak. Setelah 2 bulan bolak balik, baru beberapa hari terakhir ini saya berkesempatan diajak berkeliling oleh Mas Eddy.

Pontinak sungguh sangat eksotis di malam hari. Saya diajak makan di atas kapal yang berkeliling di Sungai Kapuas. Suasananya sungguh sangat mirip dengan Palembang. Hanya saja, Palembang berkembang pesat wisata sungainya; di Pontianak terkesan sangat seadanya. Kapal yang membawa kami pun sangat sederhana, beberapa rombongan berada di bawah. Sepertinya turis domestik juga.

Ikon terbesar di Pontianak adalah Tugu Khatulistiwa. I tell you what, sekarang tugu ini terkesan sangat tidak terurus. Saya menulis ini di 24 Juni 2012 dan saya ke Tugu Khatulistwa sekitar 3 bulan yang lalu. Konon hanya ada 2 dunia, Pontianak dan Brasil, Tugu Khatulistiwa ini menandakan titik kulminasi matahari. Di saat-saat tertentu, ketika kita berdiri di titik ini, bayangan matahari tidak terlihat karena tepat dibawah badan kita. Saya yakin kita sering mendengar tentang ini pada saat dulu SD :)

Entah apa yang mendasari Pemerintah Propinsi Kalbar tidak serius menggarap potenti wisatanya. Padahal, potensi wisatawan terbesar adalah dari Kuching dan Brunei yang terbilang dekat dengan kota ini. Mudah-mudahan saya salah, tetapi pada siang hari, kota yang penuh ruko ini tidak begitu menggeliat. Tetapi ketika matahari mulai temaram, baru terasa eksotisme kota ini. 

Rupanya warga Kota Pontianak sangat menyukai dine out (makan di luar). Setelah jam 5 sore, banyak sekali warung-warung kopi di pinggir jalan yang penuh dengan tamu. Saking penuhnya, parkir motor di beberapa ruas jalan, seperti jalan Gajahmada, separonya penuh dengan motor. Mereka nongkrog di warung kopi di pinggir jalan. Rata-rata setiap warung kopi ini disediakan juga wifi sehingga banyak muda mudi yang membuka laptop dan bermain facebook atau sekedar browsing internet.

Ketiadaan obyek wisata sedikit tertutupi dengan ragam wisata kuliner yang tiada dua. Banyak restran pinggir jalan yang menyajikan banyak makanan yang rasanya mantab. Saya sempat mencicipi Tomyam di samping Jembatan Kapuas (lupa nama restorannya) yang rasanya khas, ayam goreng Suib, kemudian makan gepuk Sotong (saya lupa juga nama makanannya), dan juga Warung nasi Mak Etek yang menyediakan ikan tenggiri dan ikan merah bakar beserta dengan telur ikannya. Sedapp.

Kota Pontianak sungguh berada pada jalur yang tidak sebenarnya, terutama dari sisi pariwisatanya. Seharusnya bisa berkembang dengan sangat pesat. Saya mengimpikan datang ke Kota ini dan Kota Singkawang pada saat Tahun Baru China, katanya saat itu kota ini berubah menjadi sangat menarik. Mudah-mudahan diberikan waktu untuk eksplorasi lebih banyak lagi dimasa datang.