Sunday, May 16, 2010

Wawancara dengan Prof. Geoffrey Crouch

 

Salah satu pembicaraan yang menarik adalah ketika Prof Geoffrey Crouch dari La Trobe University Melbourne Australia berbincang mengenai keadaan pariwisata dunia saat ini. Wawancara ini dilaksanakan sebelum presentasi menariknya mengenai Tourism Customer Choice Modelling yang memberikan contoh pada Space Tourism pada Asia Tourism Forum 2012 di Hualien Taiwan.

Prof Crouch, sebelum di La Trobe University, berkarir di the World Tourism Education and Research Centre di University of Calgary, Canada, dan the Graduate School of Management at Monash University, Australia. Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya adalah the 1997 Dean's Award for Outstanding Research Achievement di the University of Calgary, the 1994 Best Article Award for the Journal of Travel Research, dan the 1993 Best Paper Designation pada saat the 48th Annual Conference of the Council for Hotel, Restaurant and Institutional Education (CHRIE). Selain banyak artikelnya yang diterbitkan oleh jurnal Tourism Analysis, Journal of Travel Research, Tourism Management dan Annals of Tourism Research, Prof Crouch adalah co-author dari buku The Competitive Destination: A Sustainable Tourism Perspective.

Berikut adalah petikan wawancara dengan Prof Geoffrey Crouch :

Friday, May 14, 2010

STP Bandung Menjadi Tuan Rumah Asia Tourism Forum 2012



Dalam gambar : Delegasi dari STP Bandung (Tatang Rukhiyat, Jacob Ganef Pah dan Wientor Rah Mada) bergambar bersama Prof Kaye Chon dari PolyU University Hong Kong and Prof Ming Huei Lee dari Taiwan Hospitality and Tourism College.

Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (dahulu : NHI) terpilih menjadi host Asia Tourism Forum 2012. Board of ATF, event yang berlangsung dua tahunan ini secara resmi akan dilaksanakan di Bandung pada bulan May 2012. Acara ini akan menjadi salah satu highlight dalam perayaan 50 tahun Sekolah Tinggi Parwiisata (STP Bandung) yang rencananya akan berlangsung sepanjang tahun 2012.

ATF 2012 diperkirakan akan dihadiri oleh 300-400 akademisi, peneliti dan praktisi dari seluruh dunia.

Asian Tourism Forum (ATF) merupakan ajang bergengsi tempat bertemunya institusi pendidikan pariwisata, pemerintah dan para pembuat kebijakan tentang kepariwisataan di negara-negara Asia. Hal itu dikatakan Pembantu Ketua Bagian Kemitraan dan Pengawasan Kualitas Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung, Tatang Rukhiyat di Bandung, Kamis. Penetapan STP Bandung menjadi tuan rumah ATF ke-10 tahun 2010 itu dilakukan oleh para peserta ATP ke-9 di Kota Hualien Taiwan. ATF merupakan pertemuan kepariwisataan dua tahunan, selain negara-negara Asia juga diikuti Australia, Belgia, Belanda dan beberapa negara lainnya.

Dalam pertemuan itu dibahas tentang perkembangan kepariwisataan, pendidikan kepariwisataan serta dampak ekonomi dari pariwisata."Sebagai tuan rumah ATF, Jawa Barat, mendapat keuntungan secara ekonomis maupun akademis. Forum ini menjadi ajang promosi wisata yang efektif." kata Tatang.

Selamat kepada STP Bandung, nantikan beritanya di : www.atf2012.com.
See you all in 2012!!

Bersama Prof Chris Ryan


Prof Chris Ryan adalah Professor Hospitality dan Tourism di Universitas Waikato Selandia Baru sejak tahun 1998. Sebelumnya adalah Profesor bidang Pariwisata di Universitas Northern Territory. Dia adalah editor jurnal 'Tourism Management' dan telah menulis lebih dari 100 artikel jurnal akademik, buku dan makalah konferensi.

Chris Ryan juga adalah Profesor Hononary dari University of Wales dan visiting professor di Center of Hospitality and Tourism University of Wales Institute Cardiff secara tahunan. Ia tertarik pada metode penelitian dan epistemologi, dan dalam perilaku wisata dan konsekuensi dari perilaku-perilaku dalam hal dampak - sosial, psikologis dan lingkungan, dan dalam organisasi bisnis yang membentuk pengalaman-pengalaman wisata. latar belakang ilmu sosial-nya adalah di bidang ekonomi dan psikologi memiliki sebelumnya menimba ilmu di dari London, Nottingham, Nottingham Trent dan Universitas Aston.

Salah satu buku milestonenya adalah Recreational Tourism : Demand & Impact telah diterbitkan dalam dua edisi yang membahas banyak mengenai betapa pentingnya tourism experience bagi wisatawan yang datang dengan ekspektasi. Dalam Asia Tourism Forum 2010, Prof Chris Ryan mengemukakan bahwa duplikasi kota di dunia sekarang ini (yang terjadi karena perkembagan teknologi) menuntut konservasi atraksi yang autentik dari kota. Keautentisitasan kota bisa didapat tidak hanya dari budaya, tetapi kepada karakteristik kota dan penduduknya.

Saya langsung teringat ke Ubud, Bali. Kota kecil yang luar biasa ini menyimpan autentisitas yang original. Sebagai lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan, Ubud tidak termakan oleh waktu dan teknologi. Justru semakin banyak pengunjung Ubud yang mengikuti aroma dan langkah Ubud dalam berpikir dan bekerja. Festival Ubud, Bali Spirit dan Bali Writer's Festival adalah event dunia yang didahului tingkat originalitas yang unggul. Two tumbs up!

Saturday, May 8, 2010

ATF 2010 Dibuka Secara Resmi


 

 Asia Tourism Forum 2010 (ATF) secara resmi dibuka oleh Prof Kaye Chon dari Hongkong Polytechnic University di Promised Land Resort Hualien Taiwan. Sebagai founder forum ini, Prof Chon bercerita dalam speechnya bahwa forum ini didirikan dari hasil pembicaraan beberapa pakar pariwisata dunia di D'angers University Paris yang akhirnya memutuskan ATF pertama kali diadakan di Vietnam. Dari awal ATF dahulu, yang dimulai dengan 30 orang, saat ini ATF sudah menjadi icon perkembangan pariwisata Asia. Hari ini terdapat lebih dari 250 peserta konferensi dari 17 negara hadir untuk ATF 2010 yang di-host oleh Taiwan Hospitality & Tourism College.

Selain Prof Kaye Chon, keynote speaker yang lain, Prof Chris Ryan dari Waikato University New Zealand menerangkan bahwa pariwisata dunia sudah berubah banyak akhir-akhir ini. Prof Ryan menjelaskan dengan gamblang bahwa environmental degradation (dia tidak mau memakai kalimat : climate change) adalah enabler pariwisata terbesar saat ini. Dia juga menyebutkan bahwa saat ini, dengan berkembangnya teknologi, terjadi 'duplikasi kota' dimana mana. Oleh karena itu, 'local value' adalah benteng keunikan sebuah kota yang harus dipertahankan.

Friday, May 7, 2010

Hualien, Kota yang Bersahaja



Hualien. Tempat diadakannya Asia Tourism Forum 2010. Kota yang berada di pesisir kanan pulau Formosa ini terasa sangat lengang dibandingkan Taipei. Sebagai sebuah ibukota provinsi, Hualien terkesan bersahaja. Ditempuh dengan jarak tempuh 30 menit via udara atau 3 jam via darat (kereta cepat), Hualien seperti menyambut hangat dengan senyuman. Sebetulnya tidak banyak flight yang terbang ke kota ini, tetapi bandara yang terletak di pinggiran kota berdiri dengan sangat megah.

Ingatan saya kemudian melayang ke Bandara Hussein Sastranagara di Bandung. Terngiang kembali perkataan seorang rekan dari ASITA bahwa bandara ini masih belum bisa di tebalkan run down nya karena terdapat protes dari yang kalah tender. Saat ini, dana 55 milyar untuk bandara Hussein menganggur dan hampir terbengkalai. Menyedihkan.

Pentingnya Penunjuk Arah

 
Kalau melihat Tourism Information Board seperti gambar disamping ini saya terkadang menjadi emosi. Bandung sebagai kota yang melimpah wisatawan di akhir pekan belum ada satupun yang representatif. Bahkan Balipun tidak serapi ini.

Peran papan-papan sederhana ini menjadi penting ketika kita menempatkan diri kita sebagai seorang wisatawan FIT (free individual traveller). Tanpa papan yang berisi peta ini kita bisa tersesat tanpa arah.

Semakin memahami bentuk asli pariwisata, semakin saya yakin bahwa peran pemerintah seharusnya adalah mempermudah dua stakeholder yang lain (swasta dan masyarakat/turis) dalam melakukan aktivitasnya. Ini yang membedakan pemerintah kita dengan pemerintah lain yang fokus kepada pengembangan sektor kepariwisataannya. Contoh paling mudah 'willingness' pemerintah adalah penunjuk jalan.

Kota Bandung masih beruntung karena turis asing yg datang kebanyakan berasal dari Malaysia yang berbahasa mirip dengan Indonesia. Tetapi tetap saja, bahasa Inggris adalah bahasa dunia wisatawan. Jadi, memahami apakah pemerintah serius terhadap sektor kepariwisataannya sangat mudah dan kentara. Apakah papan penunjuk jalan dibuat semudah mungkin? segampang mungkin dan sebanyak mungkin? Kalo memang mudahnya memakai bahasa Inggris ya pakailah bahasa Inggris.

Melestarikan Heritage


Pemerintah Taiwan sangat peduli terhadap situs heritage nya. Gambar di samping adalah lokasi bekas wihara Wanhua yang terletak di tengah kota Taipei. Untuk melestarikan budaya lokalnya sekaligus menghargai sejarah, bekas wihara ini diusahakan tetap berdiri dengan tambang besi yang menyangga. Suatu penghargaan yang luar biasa kepada kearifan lokal.

Di dekat situs ini juga diberikan papan pengumuman (seperti di gambar bawah) untuk menjaga agar setiap taman kota tetap indah dan terpelihara.

Dari kacamata NewWave Tourism, aktivitas awal pariwisata kreatif berasal dari penghargaan atas aspek heritage yang akan memunculkan keunikan budaya yang terwujud ke dalam cultural tourism. Hanya saja cultural tourism masih belum dapat memenuhi harapan wisatawan yang datang karena tidak menyentuh emosi (venus). Oleh karena itu muncullah pariwisata kreatif dengan simbol utama adalah keterlibatan wisatawan di dalam atraksi yang ada. Involvement ini akan menyetir sisi kanan otak manusia yang langsung menyentuh emosi dan perasaan. Apabila berhasil, loyalitas menjadi jaminan.

Pemerintah Taiwan masih berada dalam tahap heritage. Intepretasi terhadap aktivitas budaya masih minim. Walaupun demikian, acungan jempol perlu diberikan, paling tidak 'first step' sudah dilakukan dengan baik. Preserving the heritage.

Thursday, May 6, 2010

Trully Restoran Malaysia!


Ini benar-benar mengejutkan. Restoran Malaysia dengan makanan Malaysia (karena banyak restoran Indonesia yang tidak memunculkan citarasa masakan asli Indonesia) ada di Taipei! Liat bentuk tulisan 'Malaysia'nya, persis sama dengan font Malaysia Truly Asia.

Bentuk promosi pariwisata model ini sudah sangat melegenda. Promosi pariwisata Thailand sudah lama selalu menyertakan Tom Yang Kung sebagai menu andalannya. Bahkan konon, karena pemerintah Thailand begitu aware dengan betapa pentingnya promosi melalui swasta (yg mempromosikan produk), setiap restoran khas Thailand yang akan buka di negara lain selalu mendapatkan support dari kedutaan besar Thailand di negara tersebut berkaitan dengan bahan baku autentiknya. Jadi menjamurlah retoran Thailand.

Bersyukurlah Indonesia mempunyai restoran Padang. Teman saya pernah bergurau, kalau turis belum ke Bali brarti belum lengkap, begitu juga kalau belum makan masakan Padang, itu juga belum dianggap sudah sah ke Indonesia. Hehe..saya terkekeh mendengarnya tetapi sangat setuju dengan pemikirannya.

Masakan, restoran, spa, atau hal lain yg mudah sekali di buzz marketingkan adalah pekerjaan sektor swasta. Tidak ada satupun yg dikerjakan pemerintah akan berbuah semanis apabila swasta yg mengerjakan. Oleh karena itu, di sektor pariwisata, pemerintah hanya berperan mempromosikan destinasi. Produk selamanya akan menjadi domain swasta. Jangan sampai tumpang tindih. Awas.

Wednesday, May 5, 2010

Taipei - Kota Budaya China



Taipei memang unik. Ada cerita ketika dulu awal warganya lari dari China daratan (China saat ini), semua barang yang kecil dan berharga sengaja dibawa dengan bertaruh nyawa ke Taiwan. Jadi secara tidak langsung, budaya China justru lebih mengakar disini ketimbang di aslinya sana. Artifak, batu giok, peninggalan filosof dan berbagai barang berharga milik raja-raja China banyak yang bisa dinikmati oleh pecinta wisata di Taipei. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila di Taipei terdapat Confusius Temple.

Ketika malam ini saya bersama rekan mencari makan malam di sebuah nightmarket dekat hotel (yang ternyata berkeringat juga jalannya..), kami melewati salah satu temple yg terbesar di Taipei : Longshan Temple. Beruntung malam ini sedang diadakan upacara besar-besaran (saya sendiri tidak tau ini mengenai apa). Terdapat banyak tari-tarian, pawai mobil, barongsai sampai dengan mercon dan petasan yang tidak berhenti menyelak. Sampai sakit telinga ini. Walaupun demikian, menyenangkan dapat melihat kebudayaan asli lokal sini. Souvenir? saya melihat banyak sekali orang yang menjual teko teh.

Saya kemudian teringat sebuah buku yang mengajarkan filosofi china mengenai teh. Bahwa apabila kita menjamu tamu dengan teh, sebaiknya gelas kita terlebih dahulu yang dituang, baru gelas tamu. Bukan bermaksud sombong atau tidak menghormati tamu. Tetapi justru karena kelezatan teh terletak di layer kedua. Dengan menuang gelas kita terlebih dahulu, kita justru menghormati tamu karena bagian terlezat dari teh akan dinikmati oleh tamu kita.

Karena tidak yakin dengan kehalalan dan higienitas makanan di pinggir jalan Huaxi St Night Market, kami memutuskan untuk makan malam di restauran lokal yang menyatu dengan Carrefour, chain retail asal Perancis. Mata saya dibuat terbelalak ketika tau bahwa Carrefour di Taiwan tidak hanya bermain di retail, tetapi juga di telekomunikasi. Carrefour Telecom adalah perusahaan yang menyediakan layanan provider operator telepon. 'World is Flat' brother..

Oiya, ada satu hal yang membuat saya sangat gondok ketika tiba di Taipei, karena telp saya tidak bisa dipakai. Satu minggu sebelum keberangkatan saya sengaja mencari tau ke operator telpon yg saya pake mengenai partnernya di Taiwan. Maksudnya ya biar saya bisa berhubungan mudah dengan keluarga dan rekan di Indonesia. Ternyata kenyataannya berbanding terbalik, bahkan menerima sinyal dari operator lokal (termasuk yg katanya sdh partneran sama operator saya) pun tidak. Saya jengkel setengah mati. Ini kejadian kedua, yang pertama ketika saya di Ternate juga tidak ada sinyal sama sekali. Menyedihkan.

Taipei dan Jakarta, Antara Hijau dan Bakau


Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Taipei Taoyuan International Airport, sesaat dejavu dengan Jakarta. Situasinya sangat mirip, apalagi ketika sedang antri luggage (kecuali tentu saja disini penuh dengan tulisan china..hehehehe). Berbeda dengan yang ada dipikiran, ternyata Taipei ketika saya datang tidak dalam cuaca yang panas. Cenderung adem malah.

Dari Taoyuan diperlukan waktu 50an menit untuk sampai ke Taipei City dengan mempergunakan taksi. Apabila memakai bis waktunya bisa lebih panjang (biaya : TWD125) walaupun dengan biaya yang seperempatnya dibanding taksi (TWD1300). Saya dan rombongan memilih menaiki taksi dengan pertimbangan banyaknya barang yang dibawa.

Perbedaan yang mencolok ketika berjalan dari bandara menuju kota adalah karena di Taipei sepanjang jalan ke kota ditumbuhi dengan pepohonan hijau sedangkan di jakarta penuh dengan hutan bakau (lihat gambar). Saya bersama dengan teman-teman akan menginap semalam di Taipei dan kemudian terbang ke Hualien, tempat diadakannya Asia Tourism Forum 2010, pada esok hari pk 14.30 waktu Taipei (13.30 WIB).

Bulan Maret 2010 Wisman Naik 16,22%

BPS : Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia pada Maret 2010 mencapai 594,2 ribu orang atau naik 16,22 persen dibanding jumlah wisman Maret 2009 yang sebanyak 511,3 ribu orang. Begitu pula jika dibandingkan dengan Februari 2010, jumlah wisman Maret 2010 naik 13,59 persen.

Jumlah wisman ke Bali melalui Bandara Ngurah Rai pada Maret 2010 naik 13,74 persen dibanding Maret 2009. Jika dibanding Februari 2010, jumlah wisman ke Bali mengalami penurunan sebesar 0,12 persen, yaitu dari 191,4 ribu orang menjadi 191,1 ribu orang pada Maret 2010. Secara kumulatif (Januari-Maret) 2010, jumlah wisman mencapai 1,61 juta orang atau naik 14,59 persen dibanding jumlah wisman pada periode yang sama tahun 2009 sebanyak 1,41 juta orang.

Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di 17 provinsi pada Maret 2010 mencapai rata-rata 50,04 persen, atau naik 2,73 poin dibanding TPK Maret 2009 sebesar 47,31 persen. Demikian juga, dibanding TPK hotel Februari 2010, TPK hotel berbintang pada Maret 2010 naik 2,89 poin. Rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel berbintang di 17 provinsi selama Maret 2010 adalah 2,19 hari naik 0,15 poin dibanding keadaan Februari 2010.


Saturday, May 1, 2010

Cowboys in Paradise- Video Trailer

Cowboys in Paradise

Publikasi dan kontroversi film Cowboys in Paradise yang dibuat oleh sutradara Amit Virmani masih belum berakhir. Film dokumenter ini memunculkan perspektif umum mengenai kepariwisataan Indonesia. Bahwa pariwisata berefek negatif.

Amit, yang bersekolah film di Amerika Serikat dan sekarang sudah 14 tahun tinggal di Singapore mengaku bahwa awal pembuatan film ini karena adanya pengakuan dari anak-anak berumur 12 tahunan yang menjadi 'pacar' wisatawan wanita asal Jepang. Walaupun demikian, Amit tetap tidak mengakui bahwa film ini mengenai gigolo di Bali. Pernyataannya di twichfilm.net," a lot of people scoff at the need to distinguish between Cowboys and gigolos, but I see the distinction. It's a very fine line, but it's there. Yes, the Cowboys are the most visible face of Bali's male sex trade, but they're not sex workers. How's that for a blurry line!