Friday, June 25, 2010
Pengalaman di Pulau Peucang Ujung Kulon
Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Pulau Peucang. Sebuah pulau yang merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon. Kawasan konservasi di Provinsi Banten seluruhnya berjumlah 126.397,30 Ha, dimana 81.340,30 Ha merupakan kawasan hutan konservasi daratan dan 45.057 Ha merupakan kawasan konservasi laut. Kawasan konservasi berupa Taman Nasional, terdiri atas Taman Nasional Ujung Kulon dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam.
Taman Nasional Ujung Kulon seluas 122.956 Ha yang berupa kawasan hutan (daratan) seluas 78.619 Ha dan sisanya seluas 44.337 Ha merupakan kawasan konservasi perairan laut. Taman Nasional Ujung Kulon merupakan habitat alami satwa endemik Badak Bercula Satu (Rhinoceros sundaicus). Kawasan ini menjadi Natural World Heritage Site pertama di Indonesia.
Menurut Ir Wiratno M. Sc, strategi konservasi alam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah konservasi sejak jaman Belanda. Awalnya, kebijakan konservasi lebih mengarah pada upaya preservasi-perlindungan. Dengan watak konservasi seperti itu, muncul kawasan-kawasan cagar alam, suaka alam atau suaka margasatwa. Pada umumnya luasannya relatif kecil karena hanya untuk melindungi spesies tertentu. Kawasan cagar alam di Bengkulu, misalnya, yang khusus melindungi Rafflesia arnoldi, hanya seluas beberapa hektar.
Namun demikian, pada jaman kolonial juga ada kawasan suaka alam yang cukup luas, yaitu Leuser, 400.000 hektar, yang ditetapkan pada 1934. Pada era 1980-an, muncullah kawasan konservasi taman nasional, yang sebenarnya diadopsi dari pemikiran dan gerakan konservasi dari Amerika Serikat. Lima taman nasional pertama dideklarasikan di Bali, yaitu Gunung Leuser, Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, Baluran, dan Komodo, dengan luas total 1,4 juta hektar.
Sepuluh tahun kemudian, baru lahir Undang-undang No.5 tahun 1990 yang mensyaratkan tidak kurang 11 peraturan pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan taman nasional. Selanjutnya berbagai upaya penunjukkan kawasan konservasi terus dilakukan dan cenderung mengarah pada sistem ‘taman nasional’. Tidak kurang dari 65 persen dari kawasan konservasi adalah taman nasional.
Kembali mengenai Pulau Peucang; dalam pengelolaannya, walaupun merupakan kawasan konservasi tetapi tidak ada aturan khusus mengenai batas-batas ambang pada aspek aspek tertentu. Jumlah pengunjung, yang biasanya menjadi batasan carrying capacity sebuah kawasan konservasi, dibiarkan bagitu saja. Siapa saja yang datang sepertinya dipersilakan masuk. Kecilnya dermaga tidak juga mengecilkan niat wisatawan untuk datang. Hanya bisa dicapai dengan kapal, pulau ini mempunyai kapasitas 'tidak terbatas' untuk pengunjung walaupun kapasitas akomodasi tidak cukup memadai. berdasarkan informasi yang diperoleh, pada saat ramai, pengunjung diperbolehkan memakai restoran dan spot-spot lain untuk menginap. Sekali lagi, tingkat kebisingan (sebagai salah satu ukuran carrying capacity) pasti terlampaui.
Saya cukup terkejut dengan banyaknya pengunjung yang datang bersama dengan saya. Sekira ada 4 kapal yang merapat dan 2 yatch mewah sedang juga berlabuh. Ini mengisyaratkan malam itu terdapat lebih dari 100 orang menginap di pulau kecil ini. Walaupun dengan fasilitas minim (listrik menyala pada pukul 5 sore dan dipadamkan kembali pada pukul 7 pagi) ternyata tidak mengurangi minat pengunjung untuk datang. Saya saat itu berbarengan dengan Tim Mancing Mania dari Trans 7, rombongan anak-anak mahasiswa dan beberapa wisatawan asal Jepang.
Jelas sekali malam itu Pulau Peucang kelebihan muatan dan tidak ada yang peduli. Kawasan konservasi yang seharusnya dijaga keasriannya dengan betul, akhirnya menjadi tempat wisata. Rusa, biawak bahkan babi yang seharusnya menjadi binatang liar, di Pulau Peucang berubah seperti binatang piharaan, selalu mendekat untuk meminta makan.
Saya menjadi teringat dengan sahabat baik saya, Chairman Tour Operator Association Costa Rica, Juan Carlos Ramos, yang sangat marah ketika saya memberi makan kacang yang saya beli dari pedagang asongan kepada monyet-monyet di Phuket. Dia menegaskan bahwa konsep ecotourism bukan berarti membuat binatang-binatang itu sustain kepada kita dengan berevolusi seperti yang kita mau, tetapi mustinya kita (yang lebih beradab) bisa lebih mengerti untuk membiarkan mereka apa adanya. Kalau dasarnya binatang buas, ya mustinya tetap buas, bukan berarti menggantikan makanan binatang buas dengan buah atau sayuran atau bahkan makanan buatan manusia yang akan mengurangi unsur buasnya, mungkin begitu maksudnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment